Saturday, July 31, 2010

PANDANGAN ISLAM (BUKAN PAS) TERHADAP DEMOKRASI...

C. Demokrasi Islam

Banyak orang apalagi masyarakat awam, beranggapan bahwa agama islam adalah agama demokrasi. Dan Islam mengajarkan kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara dengan asas demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan syura/permusyawaratan. Anggapan ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat perbedaan yang amat mendasar, yang menjadikan keduanya bak timur dan barat, air dan api, langit dan bumi. Berikut saya sebutkan beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari demokraasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman yang telah mendarah daging di tubuh banyak dan sanubari banyak umat islam.

Prinsip Syura Pertama: Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mikmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

عن ميمون بن مهران قال: كان أبو بكر إذا ورد عليه الخصم نظر في كتاب الله، فإن وجد فيه ما يقضي به بينهم قضى به، وإن لم يكن في الكتاب وعلم من رسول الله صلى الله عليه و سلم في ذلك الأمر سنةً قضى به. فإن أعياه خرج فسأل المسلمين، وقال: أتاني كذا وكذا، فهل علمتم أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قضى في ذلك بقضاء؟ فربما اجتمع إليه النفر كلهم يذكر من رسول الله صلى الله عليه و سلم فيه قضاءا، فيقول أبو بكر الحمد لله الذي جعل فينا من يحفظ عن نبينا صلى الله عليه و سلم. فإن أعياه أن يجد فيه سنة من رسول الله صلى الله عليه و سلم جمع رؤوس الناس وخيارهم فاستشارهم، فإذا اجتمع رأيهم على أمر قضى به. وكذلك فعل عمر الخطاب من بعده. رواه الدارمي والبيهقي وصحح الحافظ إسناده في الفتح.

“Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan’? Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, sehingga Abu bakar berkata: ’Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita shollallahu’alaihiwasallam.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat, maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)

Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada satupun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah. Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al Qur’an atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut.

Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang, bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian, komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai pemimpin dll.

Prinsip Syura Kedua: Kebenaran tidak di ukur dengan jumlah yang menyuarakannya.

Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang harus di amalkan.

عن أبي هريرة قال: لما توفي رسول الله صلى الله عليه و سلم واستخلف أبو بكر بعده، وكفر من كفر من العرب، قال عمر بن الخطاب لأبي بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: (أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا: لا إله إلا الله، فمن قال: لا إله إلا الله، فقد عصم منى ماله ونفسه إلا بحقه، وحسابه على الله) فقال أبو بكر: والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة، فإن الزكاة حق المال، والله لو منعوني عقالا كانوا يؤدونه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم لقاتلتهم على منعه. فقال عمر بن الخطاب: فوالله ما هو إلا أن رأيت الله عز وجل قد شرح صدر أبي بكر للقتال، فعرفت أنه الحق ) متفق عليه

“Dari sahabat Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia mengisahkan: Setelah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam meninggal dunia, dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar: ‘Bagaimana engkau memerangi mereka, padahal Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hak-haknya (hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa), sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah kepada Allah.”’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar rodiallahu’anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid rodiallahu’anhu yang sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam. Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang keputusan beliau:

والله لا أحل عقدة عقدها رسول الله صلى الله عليه و سلم ، ولو أن الطير تخطفنا والسباع من حول المدينة، ولو أن الكلاب جرت بأرجل أمهات المؤمنين، لأجهزن جيش أسامة، وآمر الحرس يكونون حول المدينة.

“Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan yang telah diputuskan oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri Nabishollallahu’alaihiwasallam), aku tetap akan meneruskan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitab-kitab sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].

Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain Nabi shollallahu’alaihiwasallam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani, 13/342]

Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari firman Allah Ta’ala:

وما اختلفتم من شيء فحكمه إلى الله

“Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)

Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang diperselisihkan diantara manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kepada Rasul-Nya shollallahu’alaihiwasallam, yang demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya.

Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi, dan Islam bukan agama demokrasi.

Prinsip Syura Ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.

Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya masing-masing. Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat, merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat, siapapun dia –tidak ada bedanya antara peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek kemaksiatannya.

Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang dimaksud oleh ulama’ atau tokoh masyarakat dari ucapan demokrasi islam ialah sistem syura’, bukan sitem demokrasi ala orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.

Jawaban dari sanggahan ini ialah:

Pertama: Istilah ini adalah istilah yang muhdats (hasil rekayasa manusia) maka tidak layak dan tidak dibenarkan menggunakan istilah-istilah yang semacam ini dalam agama Islam yang telah sempurna dan telah memiliki istilah tersendiri yang bagus serta selamat dari makna yang batil.

Kedua: Penggunaan istilah ini merupakan praktek menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang kafir, dan Islam telah mengharamkan atas umatnya perbuatan nmenyerupai orang-orang kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka.” (Abu Dawud dll)

muslim.or.id

1 comment:

Anonymous said...

Kesepakatan ulama juga membawa kita ke medan demokrasi.